Dilema Dalam Statistik
Dalam statistic kita di tuntut untuk menghasilkan data seakurat mungkin yang sesuai dengan kondisi sebenarnya. Untuk menghasilkan data tersebut kita dihadapkan pada 2 jenis kesalahan yang mungkin kita lakukan yaitu sampling error dan non sampling error. Sampling error disebabkan karena kesalahan dalam menentukan desain sampling yang digunakan, misalnya dalam suatu survey seharusnya menggunakan metode sampling double sampling method tapi justru menggunakan two stage method sehingga data yang akan dihasilkan akan menimbulkan bias yang besar atau kurang efesien. Untuk memperkecil kesalahan ini dapat dilakukan dengan memperbesar jumlah sampel yang akan di survey.
Non sampling error disebabkan oleh kesalahan dalam proses pencacahan atau pengambilan data dari responden serta kesalahan dalam proses pengolahan data itu sendiri misalnya dalam proses pengentrian data. Untuk mengatasi kesalahan tersebut BPS selalu melakukan pelatihan kepada petugas pencacah di lapangan.
non sampling error juga disebabkan oleh ketidak jujuran responnden dalam memberikan informasi sehingga data yang dihasilkan pun pasti tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya...
Yang melakukan hal ini bukan responden yang “bodoh” misalnya masyarakat pedesaan yang notabene kurang mengerti dengan kegunaan data statistic dan mereka sebenarnya belum nenggunakan data statistic dalam kehidupan sehari-hari mereka,seperti masyarakat petani tradisional, nelayan tradisional dsb. Tapi justru yang tidak jujur dalam memberikan informasi adalah orang-orang yang sebenarnya “pintar” dan sebagian besar atau bahkan semuanya dari mereka adalah consumer dari data statistic itu sendiri. Mereka cenderung tidak bersikap “welcome” kepada petugas pencacah atau memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Bahkan dari beberapa pengalaman penulis dalam melakukan survey tergadang respondent hanya mengisi sebagian dari Quesioner yang lainnya menyuruh petugas pencacah untuk mengisih sendiri, bahkan ada yang tidak mau menjawab sama sekali; apakah kita harus merekayasa data sementara data yang kita hasilkan diharapkan seobyektif mungkin dan representative.
Yang melakukan hal ini bukan responden yang “bodoh” misalnya masyarakat pedesaan yang notabene kurang mengerti dengan kegunaan data statistic dan mereka sebenarnya belum nenggunakan data statistic dalam kehidupan sehari-hari mereka,seperti masyarakat petani tradisional, nelayan tradisional dsb. Tapi justru yang tidak jujur dalam memberikan informasi adalah orang-orang yang sebenarnya “pintar” dan sebagian besar atau bahkan semuanya dari mereka adalah consumer dari data statistic itu sendiri. Mereka cenderung tidak bersikap “welcome” kepada petugas pencacah atau memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Bahkan dari beberapa pengalaman penulis dalam melakukan survey tergadang respondent hanya mengisi sebagian dari Quesioner yang lainnya menyuruh petugas pencacah untuk mengisih sendiri, bahkan ada yang tidak mau menjawab sama sekali; apakah kita harus merekayasa data sementara data yang kita hasilkan diharapkan seobyektif mungkin dan representative.
Ini adalah sebuah contoh kecil tapi inilah potret dari masyarakat kita yang takut untuk memberikan informasi, padahal data yang dipublikasikan bersifat makro atau secara umum tidak hanya dari satu respondent dan tanpa menyebut identitas dari pemberi informasi; dengan kata lain pemeberi informasi dirahasiakna identitasnya.
BPS sebagai lembaga banyak dikritik karena dianggap menyajikan data yang tidak sesuai kenyataan dengan dalih kondisi dilapangan tidak seperti yang disajikan pada publikasi. Mereka melandaskan hal ini dengan melihat kondisi salah satu tempat atau daerah padahal data yang di publikasikan bukan hanya satu tempat atau daerah tapi secara umum. Mungkin saja daerah atau tempat yang menjadi “sampel ” mereka memang penduduknya miskin, banyak pengangguran dsb tapi di daerah atau tempat lain justru sebaliknya.
Comments
Post a Comment